Sabtu, 10 Maret 2012

Contoh kasus Kesehatan Mental

Lesbianisme, Gaya Hidup atau Abnormalitas Seksual?

Di` Indonesia, Lesbianisme rupanya berkembang cukup pesat dalam wilayah sosial kemasyarakatan. Kalau dulu, perempuan lesbi sebisa mungkin menyembunyikan jati dirinya, tapi saat ini mereka berhimpun dalam wadah atau organisasi yang semua orang bisa mengetahuinya. Lihat saja, grup-grup lesbian yang bertebaran di Facebook maupun situs-situs dewasa lainnya. Lantas pertanyaannya, apakah Lesbianisme saat ini menjadi gaya hidup? Bukankah lesbian merupakan abnormalitas atau penyimpangan seksual? Sebelum menyimpulkan, Blog Dunia Psikologi akan mencoba menelisik apa itu lesbianisme.
Lesbianisme tergolong dalam abnormalitas seksual yang disebabkan adanya partner-seks yang abnormal. Lesbianisme berasal sari kata Lesbos. Lesbos sendiri adalah sebutan bagi sebuah pulau ditengah Lautan Egeis, yang pada zaman kuno dihuni oleh para wanita (dalam Kartono, 1985). Homoseksualitas dikalangan wanita disebut dengan cinta yang lesbis atau lesbianisme. Memang, pada usia pubertas, dalam diri individu muncul predisposisi (pembawaan, kecenderungan) biseksuil, yaitu mencintai seorang teman puteri, sekaligus mencintai teman seorang pria.
Pada proses perkembangan remaja yang normal, biseksualitas bisa berkembang menjadi heteroseksual (menyukai lawan jenis). Sebaliknya jika prosesnya abnormal, misalnya disebabkan oleh faktor endogin atau eksogin tertentu, maka biseksualitas bisa berkembang menjadi lesbian, dan obyek-erotisnya adalah benar-benar seorang wanita. Pada umumnya, cinta seorang lesbianisme itu sangat mendalam dan lebih hebat dari pada cinta heteroseksual. Meskipun pada relasi lesbian, tidak didapatkan kepuasan seksual yang wajar. Cinta lesbian juga biasanya lebih hebat daripada cinta homoseksual diantar kaum pria.
Gejala Lesbianisme antara lain disebabkan karena wanita yang bersangkutan terlalu mudah jenuh terhadap relasi heteroseksualnya, misalnya suami atau kekasih prianya. Seorang yang lesbian tidak pernah merasakan orgasme. Penyebab yang lain adalah pengalaman traumatis terhadap seorang pria atau suami yang kejam, sehingga timbul rasa benci yang mendalam dan antipati terhadap setiap laki-laki. Kemudian ia lebih suka melakukan relasi seks dan hidup bercinta dengan seseorang wanita lain. Wanita lesbian menganggap relasi heteroseksual tidak bisa membuat dirinya bahagia, relasi seksnya dengan sesama wanita dianggap sebagai kompensasi dari rasa ketidakbahagiaannya tersebut.
Nah, baik lesbianisme pada wanita maupun homoseksualitas pada laki-laki banyak distimulir oleh hormon eksogin dan faktor lingkungan. Lantas apakah Lesbianisme merupakan sebuah gaya hidup ataukah abnormalitas seksual? Blog Dunia Psikologi menyerahkan sepenuhnya kepada pembaca, dan yang mesti di ingat sebelum menyimpulkan adalah pada faktanya kaum lesbi menjadi sebuah gaya hidup para wanita ketika issue gender semakin menguat. Menuduh mereka abnormalitas seksual juga terlalu naif, karena lesbian Indonesia belum ada yang diteliti hormon penyebabnya. Bisa jadi semakin banyaknya lesbian Indonesia karena ‘ketidakmampuan’ laki-laki menempatkan perempuan dalam tempat yang seharusnya. 

Sumber : http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2010/01/23/lesbianisme-gaya-hidup-atau-abnormalitas-seksual/

Kesehatan Mental

Mental hygiene merujuk pada pengembangan dan aplikasi seperangkat prinsip-prinsip praktis yang diarahkan kepada pencapaian dan pemeliharaan unsur psikologis dan Pencegahan dari kemungkinan timbulanya kerusakan mental atau malajudjusment. Kesehatan mental terkait dengan (1) bagaimana kita memikirkan, merasakan menjalani kehidupan sehari-hari; (2) bagaimana kita memandang diri sendiri dan sendiri dan orang lain; dan (3) bagaimana kita mengevaluasi berbagai alternatif dan mengambil keputusan. Seperti halnya kesehatan fisik, kesehatan mental sangat penting bagi setiap fase kehidupan. kesehatan mental meliputi upaya-upaya mengatasi stres, berhubungan dengan orang lain, dan mengambil keputusan.
Kesehatan mental tertentang dari yang baik sampai dengan yang buruk, dan setiap orang akan mengalaminya. tidak sedikit orang, pada waktu-waktu tertentu mengalami masalah-masalah kesehatan mental selama rentang kehidupannya. Fungsi-fungsi jiwa seperti pikiran, perasaan, sikap, pandangan dan keyakinan hidup, harus dapat saling membantu dan bekerjasama satu sama lain sehingga dapat dikatakan adanya keharmonisan yang menjauhkan orang dari perasaan ragu dan terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin (konflik).
  1. Hadfield : ”upaya memeliharaan mental yang sehat dan mencegah agar mentak tidak sakit”. 
  2. Alexander Schneiders : ”suatu seni yang praktis dalam mengembangkan dan menggunakan prinsip-prinsip yang berhubungan dengan kesehatan mental dan penyesuaian diri, serta pencegahan dari gangguan-gangguan psikologis”. 
  3. Carl Witherington : ”ilmu pemeliharaan kesehatan mental atau sistem tentang prinsip, metode, dan teknik dalam mengembangkan mental yang sehat”.